Rabu, 07 Januari 2009

Viktimologi



A. Latar Belakang
Manusia sebagai pribadi akan memiliki arti serta dapat mengembangkan hidupnya apabila ia berada bersama-sama dengan manusia lainnya sehingga tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa manusia itu sebagai mahluk sosial. Keberadaan manusia sebagai mahluk social tentunya membawa konsekuensi perlunya diciptakan suatu hubungan yang harmonis antara manusia yaqng satu dengan yang lainnya. Kondisi ini dapat diwujudkan melalui kehidupan saling menghormati dan menghargai bahwa diantara mereka terkandung adanya hak dan kewajiban. Hal seperti ini telah sesuai dengan apa yang telah diamanatkan olen pancasila sebagai dasar Negara dan penjelasan Undang-undang Dasar (UUD) 1945.
Karena itu, keberadaan manusia yang memiliki hak dan kewajibannya masing-masing tidak dapat dipandang sebagai individu yang berdaulat sehingga dapat mempertahankan hak serta kewajibannya secara mutlak, melainkan haruslah dipandang sebagai personal sosial, yaitu suatu oknum pribadi sosial yang dibina oleh masyarakat, serta mengendalikan hak asasi dan hak-hak lain dimana hak itu timbul karena hak hidupnya dalam masyarakat dan penggunaannya harus diselaraskan dengan kepentingan umum masyarakat pula.[1]
Manusia dilahirkan kemuka bumi dengan membawa hak-hak dasar yang Manusia dilahirkan kemuka bumi dengan membawa hak-hak dasar yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa atau lazim disebut dengan Hak Asasi Manusia. Hak asasi manusia diberikan kepada tiap individu di dunia tanpa memandang suku, ras, warna kulit, asal-usul, golongan dan perbedaan-perbedaan lainnya. Hak ini tidak akan pernah lepas dan selalu melekat seumur hidup.
Demikian pentingnya hak asasi manusia bagi setiap individu sehingga eksistensinya harus senantiasa diakui, dihargai, dan dilindungi, diantaranya melalui produk perundang-undangan. Adanya pengakuan terhadap eksistensi hak asasi manusia tentu membawa kosekuensi pada perlunya diupayakan perlindungan terhadap hak-hak tersebut dari kemungkinan munculnya tindakan-tindakan yang dapat merugikan manusia itu sendiri, baik dilakukan oleh manusia lainnya maupun oleh pemerintah.
Penjelasan Undang-undang Dasar 1945 dengan tegas menyebutkan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum (Rechtstaat) dan bukan negara kekuasaan (Machtstaat). Dengan keberadaannya sebagai negara hukum ada beberapa konsekuensi yang melekat padanya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Philipus M.Hadjon, bahwa konsepsi Rechtstaat maupun kosepsi The Rule Law, menempatkan hak asasi manusia sebagai salah satu cirikhas pada negara yang disebut Rechtstaat atau menjunjung tinggi the rule of law , bagi suatu negara demograsi pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia merupakan salah satu ukuran tentang baik buruknya suatu pemerintahan.
[2]
Beberapa peraturan perundang-undangan yang memuat perihal perlindungan hak asasi manusia telah banyak disusun, baik dalam perundang-undangan nasional maupun internasional, diantaranya : Undang-undang Nomor, 9 Tahun 1998 Tentang, Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, dalam Undang-undang Nomor, 39 Tahun 1999 Tentang, Hak Asasi Manusia, Undang-undang Nomor. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan hak Asasi Manusia.
Sebelum keluarnya beberapa perundang-undangan nasional yang mengatur tentang hak asasi manusia, sebenarnya bangsa Indonesia sudah memahami perlunya perlindungan hak asasi manusia. Pengalaman dijajah selama 350 tahun oleh pemerintah Kolonial Belanda serta 3,5 Tahun oleh Jepang, menjadi bukti beratnya penderitaan yang harus ditanggung oleh penduduk yang hak asasinya diinjak-injak oleh penjajah.
Pada masa penjajahan, banyak lahir berbagai pergerakan kemerdekaan, baik yang bersifat kedaerahan maupun nasional dengan tujuan sama, yaitu membebaskan diri dari penindasan kaum penjajah. Berbagai pergerakan ini sebenarnya merupakan argumen kontrak sosial dan solidaritas sosial karena negara boleh dikatakan memonopoli seluruh reaksi sosial terhadap kejahatan dan melarang tindakan-tindakan yang bersifat pribadi. Oleh karena itu jika terdapat korban kejahatan maka negara harus memperhatikan kebutuhan korban dengan cara peningkatan pelayanan maupun pengaturan hak dari pada sikorban tersebut. Perlindungan korban yang biasanya dikaitkan dengan salah satu tujuan pemidanaan yaitu penyelesaian konflik. Dengan penyelesaian konflik yang ditimbulkan oleh adanya tindak pidana akan memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
[3]
Dalam konsep perlindungan terhadap korban kejahatan, terkadang memerlukan perhatian. Hal ini disebabkan dalam konteks hukum pidana, sebenarnya azas hukum harus mewarnai baik hukum pidana materiil, hukum fomil, maupun hukum pelaksanaan pidana. Dalam pelaksanaan perlindungan terhadap korban yang dimaksudkan haruslah memenuhi azas-azas yaitu :
1. Azas Manfaat.
Yaitu, perlindungan korban tidak hanya ditunjukkan bagi tercapainya kemamfaatan bagi korban kejahatan, tetapi juga kemanfaatan bagi masyarakat secara luas, khususnya dalam upaya mengurangi jumlah tindak pidana serta menciptakan ketertiban masyarakat.
2. Azas Keadilan.
Yaitu, penerapan azas keadilan dalam upaya melindungi korban kejahatan tidak bersifat mutlak, karena hal ini dibatasi pula oleh rasa keadilan yang juga harus diberikan kepada pelaku kejahatan.
3. Azas Keseimbangan.
Yaitu, karena tujuan hukum disamping memberikan kepastian dan perlindungan terhadap kepentingan manusia, juga untuk memulihkan keseimbangan tatanan masyarakat yang terganggu menuju pada keadaan yang semula. Azas ini memperoleh tempat yang penting dalam upaya pemulihan hak-hak korban
4. Azas Kepastian Hukum
Azas ini dapat memberikan dasar pijakan hukum yang kuat bagi aparat penegak hukum pada saat melaksanakan tugasnya dalam upaya memberikan perlindungan hukum pada korban kejahatan.
Namun demikian dalam ketentuan Undang-undang Nomor. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) perlindungan yang dimaksudkan lebih banyak kepada seseorang yang disangka pelaku tindak pidana ( tersangka), sesuai dengan asas hukum yang dianut oleh Hukum Acara Pidana Indonesia adalah asas praduga tidak bersalah yang berarti, seseorang dapat dinyatakan bersalah apabila sudah ada keputusan hakim yang bersifat tetap (mempunyai kekuatan hukum)
Dari uraian singkat diatas penulis mencoba membuat penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul :
” PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN SEBAGAI BENTUK UPAYA PENEGAKAN HUKUM. (TINJAUAN NORMATIF) ”

B.Permasalahan
Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah :
1. Bagaimana bentuk perlindungan hukum bagi korban tindak pidana menurut hukum Positip Indonesia ?
2. Faktor apa saja yang menyebabkan korban kejahatan belum memperoleh perlindungan secara memadai ?

C. Ruang Lingkup Pembahasan
Agar hasil tulisan ini terarah dan tidak melebar kemana-mana berdasarkan pada latar belakang dan permasalahan, maka pembahasan skripsi ini di titik beratkan pada masalah pelaksanaan penegakan hukum terhadap korban tindak pidana berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban akan tetapi tidak menutup kemungkinan membahas hal lain yang bersangkut paut dengan permasalahan dan bila itu menurut penulis masih ada relevansinya dengan pembahasan yang akan ditulis. Hal ini dilakukan agar hasil dari tulisan ini terarah dan tidak terlihat kaku.

D. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji dalam bukunya Penelitian Hukum Normatif, yang dimaksud dengan penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari data yang sudah tersedia baik yang terdapat dalam literatur maupun data yang telah dihimpun oleh instansi. Berdasarkan kekuatan mengikatnya, data sekunder dapat dibedakan ke dalam bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan. Bahan hukum sekunder diperoleh dari hasil penelitian yang pernah dilakukan dan pendapat ahli, buku literature, rancangan undang-undang. Bahan hukum tertier berupa majalah, dan kamus hukum.
[1] St. Harum Pudjiarto, RS, Hak Asasi Manusia, Kajian Filosifis dan Implementasinya dalam Hukum Pidana di Indonesia, UAJ Yokyakarta, 1999, hal. 3
[2] ) Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia , Bina Ilmu, Surabaya, 1987, hal. 21.
[3] Muladi, Perlindungan Korban dalam Sistim Peradilan Pidana, Universitas Diponegoro, Semarang, 1997, hal. 172

MAKALAH SEBAB2 HAPUSNYA PIDANA

ANALISIS TENTANG SEBAB-SEBAB SESEORANG
TIDAK DAPAT DIHUKUM BERDASARKAN KUHP
OLEH : ALI DAHWIR, SH


A. Pendahuluan
Hukum pidana adalah hukum tentang sanksi, membicarakan tentang hukum pidana secara otomatis kita akan membicarakan tentang hukuman atau sanksi. Ada tiga masalah sentral dalam hukum pidana yaitu :
1 Tindak Pidana;
2 Pertanggungjawaban Pidana; dan
3 Masalah Pidana dan Pemidanaan.
Ketiga permasalahan tersebut berhubungan dengan orang / manusia sebagai subjek hukum.
Penyimpangan terhadap hukum pidana dapat berupa pelanggaran ataupun kejahatan. Hukum sebagai patokan, standar atau pedoman memberikan batas-batas pada prikelakuan atau sikap tindak individu dalam pergaulan hidup bermasyarakat, yang apabila patokan, standar atau pedoman ini diindahkan (dituruti) akan memberikan kedamaian dan ketenteraman dalam pergaulan hidup sehari-hari, dan sebaliknya apabila ketentuan itu dilanggar akan memberikan keresahan dalam masyarakat. Apabila seseorang melanggar aturan yang telah dirumuskan dalam suatu undang-undang hukum pidana berarti orang tersebut telah melakukan tindak pidana, dan terhadap pelaku tindak pidana harus diberikan sanksi.
Berbicara tentang tindak pidana berarti membicarakan tentang pelanggaran terhadap hukum pidana obyektif, karena hukum pidana obyektif adalah, sejumlah peraturan yang mengandung larangan-larangan atau keharusan-keharusan dimana terhadap pelanggarnya diancam dengan hukuman. jadi apabila seseorang melanggar hukum pidana obyektif berarti orang tersebut telah melakukan tindak pidana. Tindak pidana (Strafbaarfeit) ini dapat dirumuskan sebagai perbuatan salah dan melawan hukum yang diancam dengan pidana oleh undang-undang yang dilakukan seseorang yang mampu dan bertanggung jawab (Simon). jadi suatu perbuatan dapat disebut sebagai tindak pidana apabila perbuatan tersebut memenuhi semua anasir-anasir atau unsur-unsur yang tercakup dalam perumusan tadi.
Penanggung jawab pidana adalah setiap orang yang menyebabkan (turut serta menyebabkan) peristiwa pidana. berbicara tentang penanggung jawab pidana berarti kita berbicara tentang pelaku tindak pidana. Dalam pertanggungjawaban yang dimaksud ini adalah terhadap manusia (Naturlijkpersoon) ataupun Badan Hukum (Rechtpersoon) karena terhadap yang dua inilah suatu perbuatan dapat dipertanggung jawabkan.
Dari uraian singkat inilah pemakalah tertarik membahas permasalahan pertanggung jawaban pidana, dan memilih judul : Analisis Tentang Sebab-sebab Seseorang Tidak Dapat Dihukum.

B. Permasalahan
Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah,
-Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan seseorang yang telah melakukan tindak pidana tetapi tidak dapat dihukum.

C. Pembahasan
Membahas tentang pertanggugjawaban pidana akan membicarakan tentang seseorang yang telah melakukan suatu tindak pidana, orang yang telah melakukan perbuatan yang secara tegas dilarang dan diancam dengan hukuman oleh Undang-undang idealnya orang tersebut harus dipidana atau dihukum. Namun dalam aturan umum Kitab Undang-undang Hukum Pidana ditentukan ada hal-hal yang menyebabkan seseorang yang telah melakukan tindak pidana tidak dapat dihukum
atau lazim disebut Dasar Peniadaan Pidana (Strafuitsluitingsgronden) Ada yang disebut dengan alasan pembenaran, dan ada juga yang disebut dengan alasan pemaaf, akan tetapi kita juga harus mengingat dan membedakan dengan Dasar Peniadaan Penuntutan Pidana.
Alasan pembenaran ini maksudnya adalah orang yang telah melakukan suatu tindak pidana dibenarkan oleh Hukum (Rechtsvaardigingsgroond) jadi perbuatan orang tersebut dimata hukum bukanlah suatu tindak pidana, meskipun menurut kasat mata perbuatan tersebut secara tegas adalah tindak pidana. dengan kata lain alasan pembenaran adalah alasan yang menghapuskan sifat melawan hukum (Wederrechtelijk) daripada peristiwa yang memenuhi ketentuan pidana, sehingga perbuatan tersebut tidaklah merupakan tindak pidana.

Disamping alasan pembenaran ditentukan juga adanya alasan pemaaf (Schulduitsluitingsgronden) yaitu, alasan yang menghilangkan kesalahan seorang yang seharusnya bertanggung jawab atas suatu tindak pidana, sehingga ia tidak dipidana, akan tetapi perbuatan tersebut masih merupakan Wederrechtelijk atau perbuatan melawan hukum.
Selain daripada itu menurut M.v.T dari KUHP dikenal pembagian antara alasan yang menyebabkan seseorang tidak dapat dihukum yang disebabkab oleh hal-hal dari dalam (drai orang itu sendiri) atau disebabkan oleh hal-hal dari luar diri sipelaku.
Dari kesemua pembagian alasan tersebut sekarang dirangkum dalam satu yaitu sebab-sebab seseorang tidak dapat dihukum (Strafuitsluitingsgronden) yang terdiri dari :
1. Ontoerekeningsvatbaarheid (Pasal 44) KUHP
Pasal 44 ” Tidak dapat dipidana barang siapa melakukan perbuatan oleh karena jiwa dari sipembuat itu tidak tumbuh dengan sempurna atau diganggu oleh penyakit sehingga sipembuat tidak dapat dipertanggungjawabkan”
Dari perumusan ini dapat ditentukan syarat-syarat yang termasuk dalam ketentuan pasal 44 yaitu,
a. Mempunyai jiwa yang tidak tumbuh dengan sempurna atau jiwa sipembuat diganggu oleh penyakut, Yang dimaksud disini adalah berhubung dengan keadaan daya berpikir tersebut dari si pelaku, ia tidak dapat dicela sedemikian rupa sehingga pantaslah ia tidak dikenai hukuman. Dalam hal ini diperlukan orang-orang ahli seperti dokter spesialis dan seorang psikiater.
b. Tingakat dari penyakit itu harus sedemikian rupa sehingga perbuatannya tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya.
Namun demikian apabila kita mencoba mencari ketentuan yang menyatakan bagaimana/kapan seseorang itu dianggap tidak mempunyai jiwa yang sehat hal tersebut tidak akan ditemukan, jadi untuk menentukannya kita harus kembali melihat Memorie van Toelichting (M.v.T) atau penjelasan daripada KUHP itu. Dalam M.t.V ditentukan bahwa seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap perbuatannya bila :
a. Keadaan jiwa orang itu sedemikian rupa sehingga ia tidak dapat mengerti akan harga dan nilai dari perbuatannya.
b. Ia tidak dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatan yang ia lakukan.
c. Ia tidak dapat menginsyafi bahwa perbuatannya adalah terlarang.
Maka jelaslah bahwa terhadap orang yang termasuk dalam kategori pasal 44 menurut ketentuan hukum pidana tidak dapat dihukum, namun perbuatan orang tersebut tetaplah merupakan perbutan yang bertentangan dengan hukum (Wederrechtelijk) akan tetapi terhadap pelaku diberikan alasan pemaaf oleh Undang-undang, atau schuld (Kesalahan) pembuat/ pelaku hapus.

2. Overmacht (Pasal 48) KUHP
Pasal 48 : ” Barang siapa yang melakukan suatu perbuatan didorong oleh keadaan memaksatidak dapat dipidana”.

Overmacht diartikan bermacam-macam oleh para sarjana Satochit K : “didorong oleh keadaan memaksa” Utrecht : ” Berat Lawan” Tresna : “ didorong oleh keadaan yang tak dapat dikuasai, Moeljatno : ”Karena pengaruh daya paksa, dll. Namun apakan yang dimaksudkan dengan paksaan itu ? karena tidak dirumuskan dalam undang-undang kita kembali melihat M.v.T atau yang lebih serig disebut penafsiran sejarah. Menurt M.v.T Paksaan itu adalah, setiap kekuatan setiap paksaan atau tekanan yang sedemikian rupa sehingga tidak dapat dielakkan.

Menurut Jonker Overmacht itu sendiri terbagi 3 (tiga) yaitu,
1. Overmacht yang bersifat Mulak/Absolut, yaitu dalam hal ini seseorang tidak mungkin berbuat lain.
Cth. Seseorang dengan dipegangi tangannya dipaksa untuk meledakkan pistol dikepalanya.
2. Overmacht yang bersifat Relatif/ nisbi, yaitu dalam overmach ini pada dasarnya orang masih dapat memilih apakah berbuat atau tidak, akan tetapi menurut perhitungan yang layak tidak mungkin dapat dielakkan.
Cth. Seseorang dipasa untuk menikam orang lain disatu disi dia diancam akan di bunuh apabial mengurungkan perbuatan itu.
3. overmacht dalam arti noodtoestand atau keadaan darurat
Yang dimaksud dengan noodtoestand adalah, keadaan dimana suatu kepentingan hukum dalam bahaya dan untuk menghindarkan bahaya itu, terpaksa dilanggar kepentingan hukum yang lain. Noodtoestan ini terjadi akrena :
a. Adanya pertentangan antara dua kepentingan hukum.
b. Adanya pertentangan antara kepentingan dan kewajiban hukum.
c. Adanya pertentangan antara kewajiban hukum dengan kewajiban hukum

3. Noodweer (Pasal 49) KUHP
Pasal 49 ayat (1) ”barang siapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena ada serangan ketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain , terhadap kehormatan, kesusilaan, atau harta benda sendiri atau orang lain, tidak dipidana. (Terjemahan Moeljatno) [6]
Noodweer dapat diartikan sebagai pembelan darurat, dan agar suatu perbuatan itu dapat dikatakan pembelaan darurat harus memenuhi syarat-syarat :
1. Perbuatan yang dilakukan itu harus terpaksa untuk mempertahankan (membela).
2. pembelaan atau pertahan itu harus dilakukan hanya terhadap kepentingan-kepentingan yang disebut dalam pasal tersebut.
3. harus ada serangan yang melawan hak dan mengancam seketika itu juga.

Pasal 49 ayat (2), ” melampaui batas pertahanan yang sangat perlu, jika perbuatan itu sekonyong-konyong dilakukan karena perasaan tergoncang dengan segera pada saat itu juga, tidak dihukum”. [7]

Pembelaan berdasarkan pasal 49 ayat ( 2 ) ini dinamakan Noodweer Exces yaitu, pembelaan yang melampaui batas, sebenarnya pembelaan yang melampaui batas, merupakan perbuatan yang terlarang, akan tetapi karena perbuatan tersebut berupa akibat suatu goncangan rasa yang disebabkan oleh serangan.
Misalnya : Naik darah, jengkel, marah sekali atau sering disebut kalap mata.

4. Wettelijk Voorschrift (Pasal 50) KUHP
Pasal 50 : ” Barang siapa melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan undang-unfang, tidak boleh dihukum."
Wettelijk Voorschrift adalah menjalankan perintah Undang-undang. Apa yang diperintahkan oleh suatu undang-undang atau wewenang yang diberikan oleh sesuatu undang-undang untuk melakukan sesuatu hal tidak dapat dianggap tindak pidana.
Cth. Beberapa orang polisi akan menangkap seorang penjahat yang melarikan diri dari penjara, sedang penjahat tersebut sangat berbahaya, apabila orang tersebut melarikan diri dan tidak menuruti perintah polisi penjahat itu boleh ditembak.

5. Ambtelijke Bevel (pasal 51) KUHP
Pasal 51 Ayat (1),” barang siapa melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang berhak untuk itu, tidak boleh dihukum”.
Ambtelijke Bevel atau perintah jabatan.secara harafiah adalah suatu perintah yang telah diberikan oleh seorang atasan.
Adapun syarat-syarat yang ditentukan dalam pasal ini adalah :
1. Orang itu melakukan perbuatan atas perintah jabatan.
2. perintah harus diberikan oleh kuasa yang diberikan oleh kuasa yang berhak untuk memberikan kuasa itu.
Cth. Seorang polisi diperintahkan oleh atasannya untuk menangkap seorang penjahat.
Jadi apabila ternyata orang tersebut bukanlah penjahatnya, maka terhadap si polisi tidak dapat dihukum.


D. Kesimpulan
Dari uraian diatas maka dapatlah disimpulkan bahawa seorang yang sudah/telah melakukan tindak pidana, dalam keadaan-keadaan tertentu tidak dapat dihukum hal ini dapat dilihat dari ketentuan KUHP yaitu :
Ø Pasal 44, ontoerekeningsvatbaarheid,
Ø Pasal 48, Overmacht,
Ø Pasal 49, Noodweer,
Ø Pasal 50, Wettelijk Voorschift, dan
Ø Pasal 51, Ambtelijk Bevel.









DAFTAR PUSTAKA


C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989

Mustafa Abdullah, Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986.

R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia Bogor, 1996.

Satichit Kartanegara, Hukum Pidana Satu (Kumpulan Kuliah), Balai Lektur Mahasiswa, tanpa tahun.

Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perihal Kaedah Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996

Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I (cetakan kedua), Sinar Grafika, Jakarta, 2007


[1] Satochit Kartanegara, Hukum Pidana Satu, Balai Lektur Mahasiswa, Tanpa Tahun, Hlm. 1
[2] Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, Intisari hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, Hlm. 26
[3] Ibid
[4] Op Cit , Hlm. 435
[5] Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1 (Cetakan ke Dua), Sinar Grafika , Jakarta, 2007, Hlm. 189
[6] Ibid, Hlm. 198
[7] R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana(KUHP) Serta Komentar-komentarnya, Politeia, Bogor, 1996, Hlm. 64
[8] Ibid, Hlm. 66
[9] Ibid

Pengantar Ilmu Hukum