Rabu, 07 Januari 2009

Viktimologi



A. Latar Belakang
Manusia sebagai pribadi akan memiliki arti serta dapat mengembangkan hidupnya apabila ia berada bersama-sama dengan manusia lainnya sehingga tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa manusia itu sebagai mahluk sosial. Keberadaan manusia sebagai mahluk social tentunya membawa konsekuensi perlunya diciptakan suatu hubungan yang harmonis antara manusia yaqng satu dengan yang lainnya. Kondisi ini dapat diwujudkan melalui kehidupan saling menghormati dan menghargai bahwa diantara mereka terkandung adanya hak dan kewajiban. Hal seperti ini telah sesuai dengan apa yang telah diamanatkan olen pancasila sebagai dasar Negara dan penjelasan Undang-undang Dasar (UUD) 1945.
Karena itu, keberadaan manusia yang memiliki hak dan kewajibannya masing-masing tidak dapat dipandang sebagai individu yang berdaulat sehingga dapat mempertahankan hak serta kewajibannya secara mutlak, melainkan haruslah dipandang sebagai personal sosial, yaitu suatu oknum pribadi sosial yang dibina oleh masyarakat, serta mengendalikan hak asasi dan hak-hak lain dimana hak itu timbul karena hak hidupnya dalam masyarakat dan penggunaannya harus diselaraskan dengan kepentingan umum masyarakat pula.[1]
Manusia dilahirkan kemuka bumi dengan membawa hak-hak dasar yang Manusia dilahirkan kemuka bumi dengan membawa hak-hak dasar yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa atau lazim disebut dengan Hak Asasi Manusia. Hak asasi manusia diberikan kepada tiap individu di dunia tanpa memandang suku, ras, warna kulit, asal-usul, golongan dan perbedaan-perbedaan lainnya. Hak ini tidak akan pernah lepas dan selalu melekat seumur hidup.
Demikian pentingnya hak asasi manusia bagi setiap individu sehingga eksistensinya harus senantiasa diakui, dihargai, dan dilindungi, diantaranya melalui produk perundang-undangan. Adanya pengakuan terhadap eksistensi hak asasi manusia tentu membawa kosekuensi pada perlunya diupayakan perlindungan terhadap hak-hak tersebut dari kemungkinan munculnya tindakan-tindakan yang dapat merugikan manusia itu sendiri, baik dilakukan oleh manusia lainnya maupun oleh pemerintah.
Penjelasan Undang-undang Dasar 1945 dengan tegas menyebutkan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum (Rechtstaat) dan bukan negara kekuasaan (Machtstaat). Dengan keberadaannya sebagai negara hukum ada beberapa konsekuensi yang melekat padanya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Philipus M.Hadjon, bahwa konsepsi Rechtstaat maupun kosepsi The Rule Law, menempatkan hak asasi manusia sebagai salah satu cirikhas pada negara yang disebut Rechtstaat atau menjunjung tinggi the rule of law , bagi suatu negara demograsi pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia merupakan salah satu ukuran tentang baik buruknya suatu pemerintahan.
[2]
Beberapa peraturan perundang-undangan yang memuat perihal perlindungan hak asasi manusia telah banyak disusun, baik dalam perundang-undangan nasional maupun internasional, diantaranya : Undang-undang Nomor, 9 Tahun 1998 Tentang, Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, dalam Undang-undang Nomor, 39 Tahun 1999 Tentang, Hak Asasi Manusia, Undang-undang Nomor. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan hak Asasi Manusia.
Sebelum keluarnya beberapa perundang-undangan nasional yang mengatur tentang hak asasi manusia, sebenarnya bangsa Indonesia sudah memahami perlunya perlindungan hak asasi manusia. Pengalaman dijajah selama 350 tahun oleh pemerintah Kolonial Belanda serta 3,5 Tahun oleh Jepang, menjadi bukti beratnya penderitaan yang harus ditanggung oleh penduduk yang hak asasinya diinjak-injak oleh penjajah.
Pada masa penjajahan, banyak lahir berbagai pergerakan kemerdekaan, baik yang bersifat kedaerahan maupun nasional dengan tujuan sama, yaitu membebaskan diri dari penindasan kaum penjajah. Berbagai pergerakan ini sebenarnya merupakan argumen kontrak sosial dan solidaritas sosial karena negara boleh dikatakan memonopoli seluruh reaksi sosial terhadap kejahatan dan melarang tindakan-tindakan yang bersifat pribadi. Oleh karena itu jika terdapat korban kejahatan maka negara harus memperhatikan kebutuhan korban dengan cara peningkatan pelayanan maupun pengaturan hak dari pada sikorban tersebut. Perlindungan korban yang biasanya dikaitkan dengan salah satu tujuan pemidanaan yaitu penyelesaian konflik. Dengan penyelesaian konflik yang ditimbulkan oleh adanya tindak pidana akan memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
[3]
Dalam konsep perlindungan terhadap korban kejahatan, terkadang memerlukan perhatian. Hal ini disebabkan dalam konteks hukum pidana, sebenarnya azas hukum harus mewarnai baik hukum pidana materiil, hukum fomil, maupun hukum pelaksanaan pidana. Dalam pelaksanaan perlindungan terhadap korban yang dimaksudkan haruslah memenuhi azas-azas yaitu :
1. Azas Manfaat.
Yaitu, perlindungan korban tidak hanya ditunjukkan bagi tercapainya kemamfaatan bagi korban kejahatan, tetapi juga kemanfaatan bagi masyarakat secara luas, khususnya dalam upaya mengurangi jumlah tindak pidana serta menciptakan ketertiban masyarakat.
2. Azas Keadilan.
Yaitu, penerapan azas keadilan dalam upaya melindungi korban kejahatan tidak bersifat mutlak, karena hal ini dibatasi pula oleh rasa keadilan yang juga harus diberikan kepada pelaku kejahatan.
3. Azas Keseimbangan.
Yaitu, karena tujuan hukum disamping memberikan kepastian dan perlindungan terhadap kepentingan manusia, juga untuk memulihkan keseimbangan tatanan masyarakat yang terganggu menuju pada keadaan yang semula. Azas ini memperoleh tempat yang penting dalam upaya pemulihan hak-hak korban
4. Azas Kepastian Hukum
Azas ini dapat memberikan dasar pijakan hukum yang kuat bagi aparat penegak hukum pada saat melaksanakan tugasnya dalam upaya memberikan perlindungan hukum pada korban kejahatan.
Namun demikian dalam ketentuan Undang-undang Nomor. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) perlindungan yang dimaksudkan lebih banyak kepada seseorang yang disangka pelaku tindak pidana ( tersangka), sesuai dengan asas hukum yang dianut oleh Hukum Acara Pidana Indonesia adalah asas praduga tidak bersalah yang berarti, seseorang dapat dinyatakan bersalah apabila sudah ada keputusan hakim yang bersifat tetap (mempunyai kekuatan hukum)
Dari uraian singkat diatas penulis mencoba membuat penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul :
” PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN SEBAGAI BENTUK UPAYA PENEGAKAN HUKUM. (TINJAUAN NORMATIF) ”

B.Permasalahan
Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah :
1. Bagaimana bentuk perlindungan hukum bagi korban tindak pidana menurut hukum Positip Indonesia ?
2. Faktor apa saja yang menyebabkan korban kejahatan belum memperoleh perlindungan secara memadai ?

C. Ruang Lingkup Pembahasan
Agar hasil tulisan ini terarah dan tidak melebar kemana-mana berdasarkan pada latar belakang dan permasalahan, maka pembahasan skripsi ini di titik beratkan pada masalah pelaksanaan penegakan hukum terhadap korban tindak pidana berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban akan tetapi tidak menutup kemungkinan membahas hal lain yang bersangkut paut dengan permasalahan dan bila itu menurut penulis masih ada relevansinya dengan pembahasan yang akan ditulis. Hal ini dilakukan agar hasil dari tulisan ini terarah dan tidak terlihat kaku.

D. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji dalam bukunya Penelitian Hukum Normatif, yang dimaksud dengan penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari data yang sudah tersedia baik yang terdapat dalam literatur maupun data yang telah dihimpun oleh instansi. Berdasarkan kekuatan mengikatnya, data sekunder dapat dibedakan ke dalam bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan. Bahan hukum sekunder diperoleh dari hasil penelitian yang pernah dilakukan dan pendapat ahli, buku literature, rancangan undang-undang. Bahan hukum tertier berupa majalah, dan kamus hukum.
[1] St. Harum Pudjiarto, RS, Hak Asasi Manusia, Kajian Filosifis dan Implementasinya dalam Hukum Pidana di Indonesia, UAJ Yokyakarta, 1999, hal. 3
[2] ) Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia , Bina Ilmu, Surabaya, 1987, hal. 21.
[3] Muladi, Perlindungan Korban dalam Sistim Peradilan Pidana, Universitas Diponegoro, Semarang, 1997, hal. 172

Tidak ada komentar: