Rabu, 07 Januari 2009

MAKALAH SEBAB2 HAPUSNYA PIDANA

ANALISIS TENTANG SEBAB-SEBAB SESEORANG
TIDAK DAPAT DIHUKUM BERDASARKAN KUHP
OLEH : ALI DAHWIR, SH


A. Pendahuluan
Hukum pidana adalah hukum tentang sanksi, membicarakan tentang hukum pidana secara otomatis kita akan membicarakan tentang hukuman atau sanksi. Ada tiga masalah sentral dalam hukum pidana yaitu :
1 Tindak Pidana;
2 Pertanggungjawaban Pidana; dan
3 Masalah Pidana dan Pemidanaan.
Ketiga permasalahan tersebut berhubungan dengan orang / manusia sebagai subjek hukum.
Penyimpangan terhadap hukum pidana dapat berupa pelanggaran ataupun kejahatan. Hukum sebagai patokan, standar atau pedoman memberikan batas-batas pada prikelakuan atau sikap tindak individu dalam pergaulan hidup bermasyarakat, yang apabila patokan, standar atau pedoman ini diindahkan (dituruti) akan memberikan kedamaian dan ketenteraman dalam pergaulan hidup sehari-hari, dan sebaliknya apabila ketentuan itu dilanggar akan memberikan keresahan dalam masyarakat. Apabila seseorang melanggar aturan yang telah dirumuskan dalam suatu undang-undang hukum pidana berarti orang tersebut telah melakukan tindak pidana, dan terhadap pelaku tindak pidana harus diberikan sanksi.
Berbicara tentang tindak pidana berarti membicarakan tentang pelanggaran terhadap hukum pidana obyektif, karena hukum pidana obyektif adalah, sejumlah peraturan yang mengandung larangan-larangan atau keharusan-keharusan dimana terhadap pelanggarnya diancam dengan hukuman. jadi apabila seseorang melanggar hukum pidana obyektif berarti orang tersebut telah melakukan tindak pidana. Tindak pidana (Strafbaarfeit) ini dapat dirumuskan sebagai perbuatan salah dan melawan hukum yang diancam dengan pidana oleh undang-undang yang dilakukan seseorang yang mampu dan bertanggung jawab (Simon). jadi suatu perbuatan dapat disebut sebagai tindak pidana apabila perbuatan tersebut memenuhi semua anasir-anasir atau unsur-unsur yang tercakup dalam perumusan tadi.
Penanggung jawab pidana adalah setiap orang yang menyebabkan (turut serta menyebabkan) peristiwa pidana. berbicara tentang penanggung jawab pidana berarti kita berbicara tentang pelaku tindak pidana. Dalam pertanggungjawaban yang dimaksud ini adalah terhadap manusia (Naturlijkpersoon) ataupun Badan Hukum (Rechtpersoon) karena terhadap yang dua inilah suatu perbuatan dapat dipertanggung jawabkan.
Dari uraian singkat inilah pemakalah tertarik membahas permasalahan pertanggung jawaban pidana, dan memilih judul : Analisis Tentang Sebab-sebab Seseorang Tidak Dapat Dihukum.

B. Permasalahan
Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah,
-Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan seseorang yang telah melakukan tindak pidana tetapi tidak dapat dihukum.

C. Pembahasan
Membahas tentang pertanggugjawaban pidana akan membicarakan tentang seseorang yang telah melakukan suatu tindak pidana, orang yang telah melakukan perbuatan yang secara tegas dilarang dan diancam dengan hukuman oleh Undang-undang idealnya orang tersebut harus dipidana atau dihukum. Namun dalam aturan umum Kitab Undang-undang Hukum Pidana ditentukan ada hal-hal yang menyebabkan seseorang yang telah melakukan tindak pidana tidak dapat dihukum
atau lazim disebut Dasar Peniadaan Pidana (Strafuitsluitingsgronden) Ada yang disebut dengan alasan pembenaran, dan ada juga yang disebut dengan alasan pemaaf, akan tetapi kita juga harus mengingat dan membedakan dengan Dasar Peniadaan Penuntutan Pidana.
Alasan pembenaran ini maksudnya adalah orang yang telah melakukan suatu tindak pidana dibenarkan oleh Hukum (Rechtsvaardigingsgroond) jadi perbuatan orang tersebut dimata hukum bukanlah suatu tindak pidana, meskipun menurut kasat mata perbuatan tersebut secara tegas adalah tindak pidana. dengan kata lain alasan pembenaran adalah alasan yang menghapuskan sifat melawan hukum (Wederrechtelijk) daripada peristiwa yang memenuhi ketentuan pidana, sehingga perbuatan tersebut tidaklah merupakan tindak pidana.

Disamping alasan pembenaran ditentukan juga adanya alasan pemaaf (Schulduitsluitingsgronden) yaitu, alasan yang menghilangkan kesalahan seorang yang seharusnya bertanggung jawab atas suatu tindak pidana, sehingga ia tidak dipidana, akan tetapi perbuatan tersebut masih merupakan Wederrechtelijk atau perbuatan melawan hukum.
Selain daripada itu menurut M.v.T dari KUHP dikenal pembagian antara alasan yang menyebabkan seseorang tidak dapat dihukum yang disebabkab oleh hal-hal dari dalam (drai orang itu sendiri) atau disebabkan oleh hal-hal dari luar diri sipelaku.
Dari kesemua pembagian alasan tersebut sekarang dirangkum dalam satu yaitu sebab-sebab seseorang tidak dapat dihukum (Strafuitsluitingsgronden) yang terdiri dari :
1. Ontoerekeningsvatbaarheid (Pasal 44) KUHP
Pasal 44 ” Tidak dapat dipidana barang siapa melakukan perbuatan oleh karena jiwa dari sipembuat itu tidak tumbuh dengan sempurna atau diganggu oleh penyakit sehingga sipembuat tidak dapat dipertanggungjawabkan”
Dari perumusan ini dapat ditentukan syarat-syarat yang termasuk dalam ketentuan pasal 44 yaitu,
a. Mempunyai jiwa yang tidak tumbuh dengan sempurna atau jiwa sipembuat diganggu oleh penyakut, Yang dimaksud disini adalah berhubung dengan keadaan daya berpikir tersebut dari si pelaku, ia tidak dapat dicela sedemikian rupa sehingga pantaslah ia tidak dikenai hukuman. Dalam hal ini diperlukan orang-orang ahli seperti dokter spesialis dan seorang psikiater.
b. Tingakat dari penyakit itu harus sedemikian rupa sehingga perbuatannya tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya.
Namun demikian apabila kita mencoba mencari ketentuan yang menyatakan bagaimana/kapan seseorang itu dianggap tidak mempunyai jiwa yang sehat hal tersebut tidak akan ditemukan, jadi untuk menentukannya kita harus kembali melihat Memorie van Toelichting (M.v.T) atau penjelasan daripada KUHP itu. Dalam M.t.V ditentukan bahwa seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap perbuatannya bila :
a. Keadaan jiwa orang itu sedemikian rupa sehingga ia tidak dapat mengerti akan harga dan nilai dari perbuatannya.
b. Ia tidak dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatan yang ia lakukan.
c. Ia tidak dapat menginsyafi bahwa perbuatannya adalah terlarang.
Maka jelaslah bahwa terhadap orang yang termasuk dalam kategori pasal 44 menurut ketentuan hukum pidana tidak dapat dihukum, namun perbuatan orang tersebut tetaplah merupakan perbutan yang bertentangan dengan hukum (Wederrechtelijk) akan tetapi terhadap pelaku diberikan alasan pemaaf oleh Undang-undang, atau schuld (Kesalahan) pembuat/ pelaku hapus.

2. Overmacht (Pasal 48) KUHP
Pasal 48 : ” Barang siapa yang melakukan suatu perbuatan didorong oleh keadaan memaksatidak dapat dipidana”.

Overmacht diartikan bermacam-macam oleh para sarjana Satochit K : “didorong oleh keadaan memaksa” Utrecht : ” Berat Lawan” Tresna : “ didorong oleh keadaan yang tak dapat dikuasai, Moeljatno : ”Karena pengaruh daya paksa, dll. Namun apakan yang dimaksudkan dengan paksaan itu ? karena tidak dirumuskan dalam undang-undang kita kembali melihat M.v.T atau yang lebih serig disebut penafsiran sejarah. Menurt M.v.T Paksaan itu adalah, setiap kekuatan setiap paksaan atau tekanan yang sedemikian rupa sehingga tidak dapat dielakkan.

Menurut Jonker Overmacht itu sendiri terbagi 3 (tiga) yaitu,
1. Overmacht yang bersifat Mulak/Absolut, yaitu dalam hal ini seseorang tidak mungkin berbuat lain.
Cth. Seseorang dengan dipegangi tangannya dipaksa untuk meledakkan pistol dikepalanya.
2. Overmacht yang bersifat Relatif/ nisbi, yaitu dalam overmach ini pada dasarnya orang masih dapat memilih apakah berbuat atau tidak, akan tetapi menurut perhitungan yang layak tidak mungkin dapat dielakkan.
Cth. Seseorang dipasa untuk menikam orang lain disatu disi dia diancam akan di bunuh apabial mengurungkan perbuatan itu.
3. overmacht dalam arti noodtoestand atau keadaan darurat
Yang dimaksud dengan noodtoestand adalah, keadaan dimana suatu kepentingan hukum dalam bahaya dan untuk menghindarkan bahaya itu, terpaksa dilanggar kepentingan hukum yang lain. Noodtoestan ini terjadi akrena :
a. Adanya pertentangan antara dua kepentingan hukum.
b. Adanya pertentangan antara kepentingan dan kewajiban hukum.
c. Adanya pertentangan antara kewajiban hukum dengan kewajiban hukum

3. Noodweer (Pasal 49) KUHP
Pasal 49 ayat (1) ”barang siapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena ada serangan ketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain , terhadap kehormatan, kesusilaan, atau harta benda sendiri atau orang lain, tidak dipidana. (Terjemahan Moeljatno) [6]
Noodweer dapat diartikan sebagai pembelan darurat, dan agar suatu perbuatan itu dapat dikatakan pembelaan darurat harus memenuhi syarat-syarat :
1. Perbuatan yang dilakukan itu harus terpaksa untuk mempertahankan (membela).
2. pembelaan atau pertahan itu harus dilakukan hanya terhadap kepentingan-kepentingan yang disebut dalam pasal tersebut.
3. harus ada serangan yang melawan hak dan mengancam seketika itu juga.

Pasal 49 ayat (2), ” melampaui batas pertahanan yang sangat perlu, jika perbuatan itu sekonyong-konyong dilakukan karena perasaan tergoncang dengan segera pada saat itu juga, tidak dihukum”. [7]

Pembelaan berdasarkan pasal 49 ayat ( 2 ) ini dinamakan Noodweer Exces yaitu, pembelaan yang melampaui batas, sebenarnya pembelaan yang melampaui batas, merupakan perbuatan yang terlarang, akan tetapi karena perbuatan tersebut berupa akibat suatu goncangan rasa yang disebabkan oleh serangan.
Misalnya : Naik darah, jengkel, marah sekali atau sering disebut kalap mata.

4. Wettelijk Voorschrift (Pasal 50) KUHP
Pasal 50 : ” Barang siapa melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan undang-unfang, tidak boleh dihukum."
Wettelijk Voorschrift adalah menjalankan perintah Undang-undang. Apa yang diperintahkan oleh suatu undang-undang atau wewenang yang diberikan oleh sesuatu undang-undang untuk melakukan sesuatu hal tidak dapat dianggap tindak pidana.
Cth. Beberapa orang polisi akan menangkap seorang penjahat yang melarikan diri dari penjara, sedang penjahat tersebut sangat berbahaya, apabila orang tersebut melarikan diri dan tidak menuruti perintah polisi penjahat itu boleh ditembak.

5. Ambtelijke Bevel (pasal 51) KUHP
Pasal 51 Ayat (1),” barang siapa melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang berhak untuk itu, tidak boleh dihukum”.
Ambtelijke Bevel atau perintah jabatan.secara harafiah adalah suatu perintah yang telah diberikan oleh seorang atasan.
Adapun syarat-syarat yang ditentukan dalam pasal ini adalah :
1. Orang itu melakukan perbuatan atas perintah jabatan.
2. perintah harus diberikan oleh kuasa yang diberikan oleh kuasa yang berhak untuk memberikan kuasa itu.
Cth. Seorang polisi diperintahkan oleh atasannya untuk menangkap seorang penjahat.
Jadi apabila ternyata orang tersebut bukanlah penjahatnya, maka terhadap si polisi tidak dapat dihukum.


D. Kesimpulan
Dari uraian diatas maka dapatlah disimpulkan bahawa seorang yang sudah/telah melakukan tindak pidana, dalam keadaan-keadaan tertentu tidak dapat dihukum hal ini dapat dilihat dari ketentuan KUHP yaitu :
Ø Pasal 44, ontoerekeningsvatbaarheid,
Ø Pasal 48, Overmacht,
Ø Pasal 49, Noodweer,
Ø Pasal 50, Wettelijk Voorschift, dan
Ø Pasal 51, Ambtelijk Bevel.









DAFTAR PUSTAKA


C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989

Mustafa Abdullah, Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986.

R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia Bogor, 1996.

Satichit Kartanegara, Hukum Pidana Satu (Kumpulan Kuliah), Balai Lektur Mahasiswa, tanpa tahun.

Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perihal Kaedah Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996

Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I (cetakan kedua), Sinar Grafika, Jakarta, 2007


[1] Satochit Kartanegara, Hukum Pidana Satu, Balai Lektur Mahasiswa, Tanpa Tahun, Hlm. 1
[2] Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, Intisari hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, Hlm. 26
[3] Ibid
[4] Op Cit , Hlm. 435
[5] Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1 (Cetakan ke Dua), Sinar Grafika , Jakarta, 2007, Hlm. 189
[6] Ibid, Hlm. 198
[7] R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana(KUHP) Serta Komentar-komentarnya, Politeia, Bogor, 1996, Hlm. 64
[8] Ibid, Hlm. 66
[9] Ibid

1 komentar:

h_wowo56 mengatakan...

Mohon dikaitkan tulisan tersebut dengan pendapat Jan Remmelink yang mensyaratkan perintah jabatan yang tidak bisa dipidana sesuai pasal 51 KUHP, itu harus perintah yang sah. Terima kasih